Sunday, November 05, 2006

Memaafkan?

Ada kutipan tulisan menarik dari Samuel Mulia: "...Apalagi kalau mengingat kalimat dalam ajaran agama saya yang mengatakan, orang menampar pipi kirimu berikanlah juga pipi kananmu. Wah... itu benar tak masuk akal untuk saya..." Hmm.. bagaimana bisa orang menolak pegangan hidupnya?

Berikut adalah tulisan lengkapnya, diambil dari: http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0610/29/urban/3053490.htm

Dalam agenda hidup saya, kata ini lama sekali tak pernah ada. Kala pertama saya hendak memaafkan dengan sungguh- sungguh, susahnya luar biasa.

Ada saja yang menghalangi saya berani melakukan tindakan yang mudah diucapkan dan sulit dilakukan itu, terutama untuk mereka yang pernah menyakiti hidup saya, yang menggosipkan saya bahwa saya tukang gosip hanya karena saya mengucapkan sesuatu dari mulut, sementara mereka yang menggosipkan saya membicarakan orang di dalam hatinya.

Jadi, yang kelihatan menjadi tukang gosip saya dan mereka yang mengumpat di dalam hati tetap terlihat seperti malaikat.

Pipi kiri dan pipi kanan

Jadi, rencana mulia itu selalu tertunda-tunda, sampai belasan tahun lamanya. Saat saya sudah merasa siap, ada saja pikiran yang tiba-tiba muncul yang mengatakan mengapa harus memaafkan, lha wong mereka memang salah kok, mereka memang yang jahat pada saya, mereka ini dan mereka itu. Dan, rencana itu senantiasa kandas di tengah jalan.

Apalagi kalau mengingat kalimat dalam ajaran agama saya yang mengatakan, orang menampar pipi kirimu berikanlah juga pipi kananmu. Wah... itu benar tak masuk akal untuk saya. Kalau orang mencium pipi kiri saya, maka saya tak hanya akan memberikan pipi kanan saya, tetapi semua area di tubuh saya.

Memberikan pipi untuk ditampar? Ya, mending saya tampar balik dan tak hanya kedua pipinya kalau bisa. Maka, memaafkan menjadi sebuah hal yang tak masuk akal. Terutama meminjam alasan teman saya yang "bijaksana" yang senantiasa mengatakan, "Yah… kita kan manusia biasa, sangat normal kalau kita punya banyak kelemahan dan susah memaafkan."

Awalnya saya sangat menyetujui pikiran teman saya itu. Saya ini kan tak sempurna, jadi normal kalau yang tak sempurna menghasilkan sesuatu yang tak sempurna, bukan? Yang tak normal adalah bila yang tak sempurna mampu menghasilkan yang sempurna.

Namun, dengan berjalannya waktu, setelah dipikir-pikir lagi, bagaimana teman saya bisa mengatakan saya manusia yang punya banyak kelemahan, termasuk lemah syahwat, tetapi memiliki kekuatan menghina, mengejek, dan menjelekkan orang?

Saya pikir kalimat yang kelihatan bijaksana dari mulut teman saya itu hanyalah alasan untuk tidak memberi kesempatan kepada dirinya memanfaatkan kekuatan yang ada pada dirinya sendiri. Atau mungkin ia tak bisa lagi melihat ia punya kekuatan karena seringnya mengatakan manusia punya kelemahan. Dengan kata bijaksananya itu ia seperti ingin mengajarkan saya untuk tetap tinggal dalam kelemahan itu.

Pemadam kebakaran

Mengapa saya senantiasa memilih dan merasa nyaman untuk berdiri dan mengaminkan saya punya banyak kelemahan, tetapi tak mau—bukan tak mampu—mencoba memberanikan diri meloncat ke sisi di mana saya punya kekuatan. Kalau saya punya kekuatan untuk menghina dan menyakiti orang, mengapa saya tak menggunakan kekuatan itu untuk memaafkan kembali mereka yang telah membuat hidup saya bertahun lamanya seperti neraka?

Coba Anda perhatikan kalimat terakhir yang saya tulis di atas. Mereka yang telah membuat hidup saya seperti neraka. Sekali lagi, saya masih memilih berdiri di sisi kelemahan saya sehingga saya bisa menuliskan bahwa yang membuat hidup saya sengsara seperti neraka bertahun lamanya adalah mereka yang menyakiti saya.

Mari coba meloncat dengan saya ke sisi kekuatan yang ada dalam diri saya. Kalau saja saya bisa berdiri di sisi kekuatan saya, maka saya akan menulis, yang membuat hidup saya sengsara seperti nereka tak lain adalah diri saya dan bukan mereka.

Namun, saya membiarkan diri saya terus berdiri di sisi kelemahan saya sehingga neraka kebencian itu terus menyala-nyala bertahun lamanya. Selamatnya saya tak jadi gosong karena terbakar amarah dan ketersinggungan.

Saya sekarang baru mau mencoba meloncat ke sisi kekuatan yang ada pada diri saya karena pada sisi yang baru ini saya akan seperti tim pemadam kebakaran yang siap meluncurkan air lewat pipanya yang besar dan dengan kekuatannya yang dahsyat sehingga api yang membakar diharapkan bisa dikalahkan. Diharapkan, karena belasan tahun lalu kantor di mana saya bekerja terbakar dan tim pemadam kebakaran datang dengan pipanya yang besar, tetapi tak punya kekuatan sehingga air yang keluar seperti orang buang air kecil.

Jadi, bila air saya bisa keluar dengan deras, saya tak perlu terbakar begitu lamanya. Karena air yang memadamkan akan memadamkan pikiran negatif saya dan saya siap memaafkan.

Orang lain bisa saja menjadi pencetus kebakaran, tetapi saya yang harus bertanya apakah saya ingin mempertahankan kebakaran itu atau tidak. Kalau tidak, maka sayalah yang harus berperan sebagai pemadam kebakaran dengan mempersiapkan kekuatan agar airnya tetap bisa kelewi (keluar maksudnya) secara maksimal.

Artinya, saya memang punya kelemahan, tetapi saya tak bisa hanya berhenti di situ dan merasa nyaman dengan kelemahan itu. Saya punya kekuatan, saya harus mampu berdiri di sisi yang positif ini. Dan satu hal yang akan saya ingat terus, saya ini anggota pemadam kebakaran.

"Hmm… fireman? ABCD dong," kata teman saya. "Ai bo, cakep deh."

Samuel Mulia Penulis mode dan gaya hidup